Minggu, 27 Juli 2014

Bung Karno: Mari Bangun Negara yang Berkhidmat kepada Tuhan

Oleh: Dimitri Mahayana*)

“Maka oleh karena itulah saudara-saudara, dengan kepercayaan yang demikian ini, maka aku percaya bahwa tidak ada sesuatu hal terjadi di dunia ini tanpa sepengetahuan dari pada Tuhan. Aku tidak mau terima bahwa Tuhan itu, oooo disana duduk diatas, melihat kebawah.
Saudara-saudara. Saya ulangi, jikalau Tuhan hanya duduk-duduk disana saja, Tuhan adalah terbatas. Padahal Tuhan adalah without end, limitless, without any limit, tapi bersatu, kataku, tidak bisa dipecah-pecahkan saudara, bersatu.
Maka oleh karena itu saudara-saudara. Tuhan itu saudara-saudara, juga memberi daya kepada segala perbuatan kita. Oleh karena Dia is everywhere, anywhere, and everywhere, dimana-mana. Mungkin saya punya ketauhidan itu, lain dari pada orang lain. Tapi baiklah saya buka saya punya hati sekarang ini kepada seluruh umat Islam di Indonesia ini. Demikianlah ketauhidanku. Benar apa tidak. Wallahu a’lam, benar apa tidak, saya serahkan kepada Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam. Allah Yang Esa. Yang Satu”.  (Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno, Api Perjuangan Rakyat [Pengantar: Megawati Soekarnoputri], LKEP & Kekal Indonesia, 2001).
Tulisan diatas menunjukkan beberapa hal. Pertama, Soekarno percaya Ketunggalan Tuhan. Dalam pandangan Soekarno, Tuhan Satu, tidak terbagi, tidak tersusun. “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa” (QS 112 [Al Ikhlas]:1)  Kedua, Soekarno percaya bahwa Tuhan tidak hanya menempati satu tempat tertentu, misalnya di langit ke tujuh, namun Tuhan ada di mana-mana dan meliputi seluruh keberadaan semesta yang lain ...  “...Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS 41 [Fushshilat]:54) “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNYA) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2 [Al-Baqarah]:115). Ketiga, Soekarno percaya bahwa Tuhan Mahaaktif berperan dalam setiap kejadian dan peristiwa dimanapun, tidak hanya duduk-duduk di langit ketujuh. “Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.” (QS 55 [Ar-Rahman]:29).
Sampai disini, Soekarno menampakkan identitasnya sebagai seorang Muslim sejati. Soekarno mendekatkan Tuhan dengan pendekatan teosofi atau sufi. Ini selaras dengan kebhinekatunggal-ika-an dalam Pancasila. Sufi pada umumnya bisa menerima keberadaan banyak cara menyembah Tuhan Yang Satu dari agama yang beraneka ragam. Keanekaragaman agama adalah bentuk dari Rahmat Tuhan Yang Maha Luas. Berikutnya, Soekarno mulai menandaskan kaitan Ketunggalan Tuhan dengan Pancasila;
“Saya sebutkan, Tuhan Yang Maha Esa nomor satu, saudara-saudara. Oleh karena itu, bagi saya, tanah air itu amanat Tuhan, amanat Tuhan kepada kita. Segala isi alam ini adalah amanat Tuhan kepada kita.
Oleh karena itu, saudara-saudara akan mengerti,” Bung Karno ini berkata bahwa Pancasila itu adalah dasar negara. “Nah, itu bisa dimengerti, barangkali ini dasarnya, negara diatas dasar Pancasila. Masuk akal. Tapi kalau Bung Karno berkata, negara bertuhan, negara harus bertuhan, bagaimana koq bertuhan? ...
Dan telah difirmankan oleh Allah SWT: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-KU” (QS 51 [Adz Dzariyat]:56). Dus, membuat manusia agar supaya manusia itu menyembah kepada-NYA .... Membuat negara agar supaya negara itu menyembah kepada-NYA.
Karena itu dengan keyakinan saya berkata berkata, negara yang menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak bertuhan, akhirna celaka, lenyap dari muka bumi.
Nah itu lah saudara-saudara, agar supaya saudara-saudara mengerti, pengertian saya tentang ushuluddin.”
Soekarno menegaskan bahwa tidak hanya manusia sebagai individu yang harus menyembah kepada Tuhan, namun negara juga harus menyembah Tuhan. Disini, gagasan dan kepercayaan Soekarno tentang bagaimana manusia harus menyembah Tuhan mulai menjadi istimewa dan khas. Penjelasan Bung Karno tentang tauhid, penetapan eksistensi Tuhan, Ketunggalan Tuhan, kemudian bagaimana sebuah negara harus didirikan berdasarkan ketaatan dan penyembahan kepada Tuhan terasa amat selaras dengan magnum opus dai Al Farabi, “Al Madinah Al Fadhilah.” Dalam buku ini, Al Farabi mengawali pembahasan dengan tauhid dan mengakhirinya dengan menjelaskan tentang negara utama, dan bagaimana negara utama harus dibangun berdasarkan ideologi-ideologi yang serba materi.
Terima kasih kepada Bung Karno dan para pendahulu Bangsa yang telah meletakkan dasar Cinta Kepada Tuhan  dalam kehidupan kita bernegara. Pancasila mengajarkan kepada kita untuk mewujudkan Cinta Kepad Tuhan dalam kebhinekaaan kehidupan bernegara yang sehat dan penuh pengkhidmatan.

Dikotomi Muslim Non Muslim, Pilpres, dan Keutuhan Pancasila

Dikotomi Muslim dan Non Muslim yang banyak menyeruak akhir-akhir ini, menurut hemat kami lebih muncul dari kepentingan politik dari kelompok-kelompok tertentu, ketimbang ketulusan perkhidmatan kepada Tuhan ataupun sesama. Manajemen pembiaran pada kampanye hitam yang menggunakan isyu-isyu SARA merupakan salah satu bentuk kelalaian dalam menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila. Pembiaran ini dirasakan terjadi di level akar rumput. Pemerintah, KPU, dan aparat yang berwajib seharusnya lebih tegas, tanggap, dan cepat dalam mengambil tindakan. Masyarakat juga diharapkan tidak mudah terpancing gagasan utnuk dan atas nama Tuhan yang prematur dan bertentangan dengan Pancasila. Mari kita teruskan perjuangan Bung Karno mewujudkan NKRI yang berkhidmat kepada Tuhan dan mengalirkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. []

*) Penulis adalah Dosen STEI ITB dan tulisan ini dikutip dari buletin At-Tanwir Nomor:321, Edisi: 21 Juli 2014 / 23 Ramadhan 1435H

Kamis, 31 Mei 2012

Konsistensi dan Ketegasan sebagai Pengajar


"Guru, digugu dan ditiru", dan "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", adalah dua pepatah terkenal yang berkaitan dengan sosok guru. Guru lebih kental sebagai sosok pendidik untuk pendidikan dasar 12 tahun pertama daripada sebagai pengajar saja. Guru adalah sekaligus pengajar juga pendidik. Sebagai sebuah sentral dalam penanam budi pekerti anak-anak didik di sekolah telah menjadi "mitra kerja" utama para orang tua pemilik anak-anak usia balita hingga remaja muda, tentu patutlah menjadi panutan, penuntun, dan lebih tepat sebagai tokoh Tut Wuri Handayani. Guru yang baik tentunya dapat melahirkan anak didik yang kelak berpengetahuan dasar dan berkarakter, baik dari segi moral harus berbudi luhur dan bermartabat, juga harus konsisten antara pepatahnya dengan gerak perbuatan sehari-hari. Apa jadinya jika dari pepatah kedua tersebut di atas diteruskan menjadi "Guru kencing berlari" ? Ya, bisa jadi muridnya akan terkencing-kencing ...hehehehe.
Di dalam tulisan  atau lebih tepat sebagai catatan pribadi saya yang singkat ini, kiranya kurang kompeten jika saya terus mengupas tentang tokoh guru. Namun, bagaimanapun ada hubungannya antara guru dengan saya sebagai salah satu pengajar perguruan tinggi. Itulah kira-kira isi tulisan ini.

Begini. Guru jelas adalah sebagai pendidik sekaligus pengajar. Sementara, Dosen, profesi tenaga pengajar di jenjang perguruan tinggi apakah juga wajib sebagai pendidik? Menurut saya mestinya iya. Meskipun, kenyataan banyak yang mengabaikan hal ini. Dosen ya sebagai pengajar saja, pekerjaannya adalah mengajar (dan juga meng[h]ajar mahasiswa—peny.) karena tugas utama pendidik adalah orang tua dan guru. Akan tetapi, kan alangkah baiknya, jika dosen itu menjadi pengajar dan juga menjadi pendidik, meskipun intensitasnya berbeda dari cara guru dalam mendidik. Jelaslah bahwa yang dihadapi dosen adalah anak-anak dewasa muda yang dianggap sudah bisa mandiri dalam menghadapi kehidupannya. Treat-nya tentu berbeda dengan guru. Di sini dosen bisa menempatkan diri sedemikian bahwa mahasiswa itu adalah mitra kerja dosen. Hal ini sangat sejalan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini,  yakni menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Berdasarkan hal itu, saya berpendapat bahwa masa jenjang pendidikan dasar  adalah masa penanaman pasport hidup lebih kepada penanaman nilai-nilai dasar moral dan kehidupan dan skill dasar. Pada jenjang menengah (SMP dan SMA) yang menjadi peralihan hidup dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, mulai diarahkan pada hal-hal pembekalan hidup. Lalu pada pendidikan tinggi musti ditanamkan bagaimana pendidikan itu harus dilakukan sepanjang hayat menjadi manusia yang dewasa, mandiri, bertanggung jawab, bersosial, dan berbudaya.
Menurut saya, salah kunci utama dalam mendidik mahasiswa adalah konsistensi dan ketegasan. Biasanya ‘bla bla bla’ menanamkan ‘isme’ pengajar atau dosen itu terutama di awal-awal kuliah atau yang dikenal dengan aturan main kuliah atau kesepakatan belajar-mengajar antara mahasiswa dengan dosennya. Apa yang sudah ditetapkan di awal kuliah mestinya dijalankan secara konsisten oleh kedua belah pihak tersebut. Sebagai contohnya: Kehadiran tidak diperhitungkan dalam penilaian. Akan tetapi, jika kehadiran mencapai 90% ke atas, maka mahasiswa akan mendapat reward perbatasan nilai, yakni dari E ke D, D ke C dan seterusnya. Disini, dosen dituntut konsistensinya atas janji yang pernah dilontarkan.

Pernahkan kita sering mendengar ada ‘dosen killer’?  Saya punya definisi sendiri atas istilah itu. Dosen killer adalah dosen yang salah satu tingkahnya adalah melakukan penilaian atas mahasiswa tidak berhubungan dengan akademik sama sekali alias tidak obyektif. Sebagai ilustrasi, misalnya ada seorang dosen yang ‘sakit hati’ lantaran suatu ketika saat berjalan di depan mahasiswanya terjatuh dan menanggung ‘malu’ sampai-sampai mahasiswanya tertawa atas kejadian itu. Di akhir kuliah dosen tersebut mengeluarkan nilai jelek atas mahasiswa yang menertawainya dan tidak ada sangkut pautnya dengan prestasi di kelas/ujiannya. Itulah yang saya sebut sebagai dosen killer, dan bukannya dosen yang ‘jutek’ -- memang dari sananya begitu--, tapi malah tegas, konsisten, serta profesional di dalam menetapkan penilaian. Dalam hal ini saya sering melontarkan ilustrasi ini kepada para mahasiswa saya di manapun ketika di kelas bahwa dosen killer itu seperti yang saya uraikan di atas.
Saya dapat rumor dari rekan kerja saya bahwa saya termasuk salah satu dosen yang sulit berkompromi dengan masalah nilai yang sudah dipublikasi. Salah satu pernyataan yang sering saya publikasi, baik di kelas maupun di luar kelas adalah bahwa saya tidak akan segan-segan memberi nilai E (tidak lulus) pada mahasiswa yang kedapatan berbuat curang secara akademis. Tidak peduli mahasiswa itu ber-IPK tinggi sekalipun. Tentu saja dalam menetapkan nilai tersebut musti didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan atas tindakan itu. Jika itu terjadi bahwa nilai saya atas mahasiswa tersebut digugat atau di-otak-atik oleh pihak manajemen, maka saya bilang  “saya atau dia (mahasiswa) yang keluar dari intitusi pendidikan ini!”  Mahasiswa yang dapat nilai E karena memang kemampuannya ataupun karena malas saja, itu masih bisa dinegokan alias bisa diubah. Tentu saja melalui proses seperti remedial. Cuma bagi mahasiwa yang malas, treatment saya mengikuti rasa keadilan. Mengapa tidak, ada mahasiswa yang rajin tapi kemampuan pas-pasan dan biasanya menghasilnya nilai D atau C kalau beruntung hasil belajar penuh selama satu semester harus menyaksikan seorang mahasiswa malas yang nilainya jadi D dari E bahkan ada yang bisa C dengan hanya remedial. Tentu ini bisa mengusik rasa keadilan. Supaya adil bagaimana? Yang sudah, saya lakukan adalah sebelum remedial, mahasiswa diwajibkan mengerjakan tugas/PR yang kalau dihitung meskinya dikerjakan selama 1 minggu, tetapi harus dikerjakan selama 1 hari untuk syarat ikut remedial. Nah, lho bisa jadi mahasiswa tersebut akan begadang semalaman. Puas kan? Saya punya empat kategori mahasiswa dari segi nilai akhir. A adalah nilai bagi mahasiswa yang expert alias pintar dan menguasai bahan. B adalah kategori mahasiswa yang rajin belajar. C atau D tergolong mahasiswa ‘anak mami’. Istilah saya untuk yang malas mikir(=mami). Terakhir E bagi golongan ‘Gayus’ alias pecundang dan kriminal atau golongan koruptor.

Saya berusaha untuk konsisten dan tegas dalam bekerja sebagai pengajar. Yang paling saya takutkan adalah saya  melanggar sendiri atas kesepakatan yang saya buat pada mahasiswa. Apapun, jika itu atas kesalahan saya, saya tidak segan-segan untuk mengakui kekhilafan itu. Dalam hal ini saya memang bercita-cita jadi orang awam yang baik sebagai manusia yang berkehidupan dan berbangsa. Tidak terpikirkan untuk memain-mainkan nilai di luar profesi saya sebagai pengajar. Saya katakan, jika ada dosen yang bisa dibeli nilainya oleh materi ataupun uang semisalnya oleh mahasiswanya, maka dosen itu telah melakukan pelacuran, pelacuran akademik. Bahkan ia telah melakukan pelacuran moral karena telah menggadaikan kehormatannya demi tujuan yang rendah seperti itu. Kecuali, memang mahasiswanya ‘menyogok’ dengan membantu dosen tersebut dalam bidang yang masih berkaitan dengan mata kuliah yang diambilnya. Itu lain.

Di luar sana, banyak orang yang berhasil dalam kehidupannya sebagai pejuang kemanusiaan atau sebagai pahlawan. Saya? Ya sudahlah, biarlah saya akan terus berjuang sebagai salah satu sosok penjaga moral saja yang harus meloloskan mahasiswa yang berkualitas baik dari segi skill, kompetensi, maupun integritas moralnya dan menjegal calon-calon koruptor ataupun penjahat.

Sabtu, 09 Juli 2011

Mental Tempe, Otak Kulkas

Mahasiswa saya umumnya adalah orang Indonesia, yang terbiasa makan tahu-tempe, bermental baja berotak encer, pastilah itu akan membanggakan saya sebagai pengajarnya. Nah, saya akan sedih jika sebaliknya, yakni makannya fast-food, tetapi bermental tempe dan berotak beku seperti isi refrigerasi alias kulkas, tentu saja akan membuat saya sedih. Akan tetapi, jika ada kans untuk mau memerbaiki diri dari  mahasiswa ybs., maka bagi saya itu adalah sebuah tantangan yang menggairahkan.
Beruntung saya karena pernah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri top di Indonesia dengan tradisi yang menjungjung tinggi disiplin ilmu dan didukung oleh tingkat kejujuran dan harga diri yang luar biasa tinggi hingga saat ini. Selama tujuh tahun saya merasa ditempa di tingkat sarjana stata satu, yang mustinya cukup empat setengah taun saja. Telat kuliah? Maklumlah berangkat dari keluarga pas-pasan untuk kuliah di ibukota propinsi membuat saya musti menghidupi diri dan tanpa bantuan lagi finansial dari orangtua sejak tingkat tiga hingga menunda secara tidak resmi tugas akhirnya. Selama itu, saya merasa ada perubahan pada diri saya. Terutama dari sisi mentalitas saya yang sebelumnya terlalu lembut atau malah 'lembek' untuk ukuran metropolitan. Betapa tidak, sejak masuk penjurusan, sudah terbiasa dengan 'intimidasi' kakak kelas melalui asistensi saat praktikum. Selain itu, banyak dosennya yang terlampau menanggap para mahasiswa sudah pintar-pintar jadi kuliahnya bisa asal-asalan. Saat ada keperluan (bimbingan, dll.) tertentu kadang kita diminta menunggu hingga berjam-jam tanpa ada protes dari kita. Ya, bagaimana lagi karena kita yang butuh. Akan tetapi, itu semua membuat mental kita jadi tahan banting dalam segala kondisi dan dalam tekanan yang bagaimanapun kuatnya kita bisa mengatasinya. Istilahnya, 'bukan saya kalau tidak bisa menyelesaikan persoalan itu'. Selalu saja ada solusinya, meski kadang memakan waktu lama.
Dari latar belakang itu marilah kita bandingkan dengan suasana kuliah 10 tahun terakhir ini. Periode yang penuh dengan dinamika kemajuan teknologi yang pesatnya mengikuti eksponensial. Terutama dari pesatnya tingkat konsumeritas dan entertaint, bisa membuat mahasiswa 'lembek' dalam perjuangannya selama menggali ilmunya. Saya termasuk paling senang juga mahasiswa saya 'cerewet' di kelas untuk selalu kritis menanyakan yang sedang diajarkan. Pastilah saya 'gatal' dan akan menyindir mahasiswa jiga tidak demikian. Apalagi kedapatan kelas yang bak kuburan. Diam seribu bahasa dan jadi pendiriam karena diapa-apain diam saja. Walah .....repot.
Suatu saat saya pernah bertanya pada sebuah kelas pelajaran saya. "Kalian kok sekarang tidak ada lagi yang mau bertanya?", selidik saya. Setelah agak setengah saya desak, barulah ada seorang yang 'bernyanyi' mesti agak stres. "Pak, saya mau mengutarakan sesuatu, asal bapak tidak marah." "Silakan, tidak apa-apa!" jawab saya. "Begini pak. Sebenarnya kami mau bertanya dari kemarin juga, cuma ...", diam sejenak menarik nafas. "Cuma, saat kami bertanya, malah bapak balik bertanya tentang pertanyaan itu. Ya, tentunya kami jadi keki, Pak." "Weks...itu toh alasan mengapa jadi sepi dari yang bertanya." dalam hatiku. "Wah, segitu saja, ciut nyali kalian. Kalian kan bisa menyanggah atau mencegah saya untuk tidak melakukan pertanyaan balik dengan argumen yang kuat. Ya, mungkin pertanyaan itu tak perlu dijawab alias pertanyaan saja salah." ungkap saya. "Kalau begitu terus berlarut-larut, bisa jadi mental kalian adalah lembek seperti tempe dan mungkin juga karena otak kalian tidak digunakan sebaik-baiknya."
Seterusnya, saya nerocos menasihati mereka,"Begini, adik-adik! "Kalian kan sedang belajar ilmu teknik. Cobalah lebih sering menggunakan logika yang kuat dan tekan perasaan yang membuat mudah tersinggung. Anggap saja sesuatu yang menyinggung perasaan itu adalah angin ribut. Salurkan perasaan anda ke hal-hal yang berfikir kreatif dan intuitif. Itu artinya kalian sedang menggunakan otak kiri dan kanan secara berimbang. Bisa kok kalian berlatih!" sambil saya keluarkan laptop yang berisi program untuk menguji seberapa kadar potensi otak orang, apakah lebih banyak menggunakan otak kiri saja, otak kanan saja atau berimbang. Saya akui, saya sendiri mendapatkan hasilnya yang tidak saya harapkan. Betapa tidak tujuh tahun digojlok kuliah bak kawah candradimuka untuk otak kiri saya, tetapi hasil test perangkat lunak itu saya lebih ke otak kanan. Artinya intuisi saya lebih kuat jika memandang suatu persoalan.
Nah, ilustrasi ini adalah pengalaman yang mungkin bisa berguna bagi para mahasiswa dan calon mahasiswa saat ini. Intinya janganlah putus asa jika menghadapi persoalan seperti tugas kuliah yang berat atau menghadapi persoalan yang rumit saat melakukan penelitian di tugas akhir. Jauhi pikiran negatif kalian untuk mencari jalan pintas yang membuat kejujuran anda tergadaikan. Pasti ada jalan. Selain itu, bertanya adalah ciri khas mahasiswa yang sehat dan 'bergizi'. Kalian sebagai mahasiswa jaman sekarang mustinya bangga karena kita semua tahu bahwa teknologi hiburan atau entertain itu membuat daya juang mahasiswa mengendur dan cenderung malas, tetapi tetap bisa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak tergoda untuk jadi malas belajar. Dulu, jaman saya kuliah, sumber hiburan bisa diitung jari dan kalau pun ada mahalnya bukan main seperti video game, konten Internet, dlsb. Berbahagialah mahasiswa yang bisa mencapai prestasi tinggi selama kuliahnya.
Di mata saya cuma ada tiga kategori mahasiswa. Pertama, mahasiswa yang pintar dan expert, nilainya pasti A. Kedua, golongan mahasiswa yang rajin meski kemampuannya pas-pasan, bisanya bernilai B, sisanya adalah mahasiswa 'anak mami' alias mahasiwa yang malas mikir. Nilai mereka paling tinggi C. Di luar ketiga golongan itu akan saya beri nilai E alias gatot(gagal total). Golongan terakhir ini akan saya cap termasuk mahasiswa tidak bakal menjadi harapan bangsa karena mereka itu pastilah pelanggar akademik (plagiat, pencontek pekerjaan orang lain dan berbuat curang saat ujian). Ya, tentunya saya tidak akan mencap begitu saja kecuali jika ada bukti yang kuat, sah, dan meyakinkan ada bukti otentiknya akan kecurangannya itu.

Viva mahasiswa jujur yang bermental baja bergizi tempe.

Nasibmu, Puntung Rokok

Tahukan anda puntung rokok? Seberapa besar dan beratkan benda itu. Saya kira hampir seluruh perokok punya pensepsi yang sama bahwa kalau sisa aktifitas merokok itu cukup kecil dan dapat dibuang sembarangan. Coba bandingkan dengan kalau anda membuang bungkus kacang atom. Meskipun beratnya lebih ringan dari puntung rokok, akan tetapi bagi yang masih punya kesadaran akan kebersihan di sekitar dia berpijak, saya kira anda masih rikuh untuk membuang benda tersebut secara sembarangan. Benarkan puntung rokok, yang kalau ditimbang paling berat cuma 10 gram dan volumenya rata-rata sekitar 3 s.d. 4 cm kubik, tidak berdampak apa-apa seadainya dibuang sembarangan?
Nah, mari kita sekarang sedikit berhitung menggunakan ilmu statistik yang sederhana ... Misalkan, rata-rata berat puntung rokok adalah 10 gram dan volumenya 4 cm kubik. Kita ambil saja orang-orang kota Bandung yang sedang merokok sebanyak 3 juta orang. Dalam waktu yang bersamaan mereka membuang puntung rokok. Berapakah total puntung rokok saat itu? Ya, tentu beratnya adalah 10 gram kali 3 juta, akan menghasilkan 30 juta gram atau 30 ribu kilogram atau 30 ton. Wow, fantastik! Ingat, itu baru waktu yang bersamaan. Sedangkan, apabila kita hitung lagi misalkan 10 menit kemudian ketiga puluh juta orang tersebut merokok lagi dan membuang puntungnya sembarangan. Berapa coba berat puntung rokok yang berserakan di kota Bandung? Tentu meningkat menjadi 2 kalinya. Asumsi berat itu dimisalkan bahwa puntung rokok utuh tidak rusak atau terbakar habis. Belum lagi volumenya juga akan menjadi 240 m kubik yang setara dengan bak penampungan sampah dengan luas 100 meter persegi dengan tinggi 2,4 meter. Sekarang kita perkirakan bahwa ke 3 juta orang tersebut menghabiskan batang rokok 3 buah sehari dan membuang puntung rokoknya sembarangan, atau kita perkirakan sebulan rata-rata menghabiskan 90 batang rokok. Coba sekali lagi hitung total berat dan volume puntung rokok jika kita kumpulkan sekota bandung saja. Berat terkumpul 2 ribu 7 ratus ton dengan volume 4 ribu 3 ratus 2 puluh meter kubik. Setahun? kalikan saja dengan 12. Itu baru cuma berat dan volumenya saja lho! Terus, bagaimana konsentrasi asap yang mengisi ruang gerak kota bandung? Belum lagi saya tidak terus menceritakan dampak kesehatan buat siperokok aktif maupun pasifnya. Kita fokuskan saja dulu ke masalah limbah perokok.
Kalau hal seperti kasus di atas diabaikan , betapa kita (kata orang Bandung) akan menjadi bak sampah nan maha besar karena memang kota bandung itu, yang dikelilingi pebukitan dan pegunungan ibarat mangkuk besar. Bandung adalah kota yang terletak di cekungan pegunungan yang mengelilinginya. Seandainya, masyarakatnya Bandung tidak peduli akan hal itu, bukan tidak mungkin beberapa tahun mendatang akan tenggelam dengan lautan sampah. Bukankan dengan adanya kasus 'tsunami' sampah di Cimahi Bandung Tuhan memperlihatkan pada kita betapa kita khilaf terhadap kebersihan lingkungan yang dalam hal ini adalah masalah sampah.   
Tadi, di awal pembicaan dengan menganggap bahwa kata si perokok puntung rokok itu masalah kecil dan tak usah dipermasalahkan. Ternyata, hanya dengan perhitungan statistik yang sederhana saja, kita dapat gambaran seberapa penuhnya kota bandung dengan puntung rokok saja. Ini cerita tentang kesadaran akan perlunya memperhatikan yang kecil-kecil atau masalah yang sering dianggap kecil. Contoh, pedagang kita suka meremehkan nilai 50 perak. Katanya, 50 perak saja kok dianggap pak? Lho ya mbo klo terus-terusan keluar 50 perak selama sebulan saja berapa tuh? Saat itu memang 50 rupiah tidak begitu berarti dengan uang kembalian dari 10 ribu. Sebenarnya, untuk pedagang, tiap item dagangannya biasanya mengambil untuk sedikit. Tetapi dengan pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit terbukti sudah. Nah itu dia keuntungannya akan terasa jika waktunya lama dan seringnya orang membeli item dagangannya. Itulah salah satu gambaran di masyakarat kita yang suka mengabaikan hal-hal yang dianggapkan kecil, padahal bisa berdampak besar. 'Penyakit' di PNS, saat rejim Suharto berkuasa, mereka sering mencatut gaji PNS untuk dalih ini itu, dengan memberi kesan sedikit kok yang dipotongnya. Dan itu hingga kini praktiknya masih berjalah lho?!!!
Kecil tapi indah adalah semboyan hidup saya sejak kecil. Ada yang bilang itu kan mengambil semboyan Aa Agym. Beliau dan saya kan ampir seusia, lebih tua beliau dikit lah. Jadi tak apa kan kalau punya semboyan yang ampir sama. Bukankan semboyan ini umum sudah lama kita tahu?