Oleh: Dimitri Mahayana*)
“Maka oleh karena itulah saudara-saudara, dengan kepercayaan yang demikian ini, maka aku percaya bahwa tidak ada sesuatu hal terjadi di dunia ini tanpa sepengetahuan dari pada Tuhan. Aku tidak mau terima bahwa Tuhan itu, oooo disana duduk diatas, melihat kebawah.
“Maka oleh karena itulah saudara-saudara, dengan kepercayaan yang demikian ini, maka aku percaya bahwa tidak ada sesuatu hal terjadi di dunia ini tanpa sepengetahuan dari pada Tuhan. Aku tidak mau terima bahwa Tuhan itu, oooo disana duduk diatas, melihat kebawah.
Saudara-saudara. Saya ulangi, jikalau Tuhan hanya
duduk-duduk disana saja, Tuhan adalah terbatas. Padahal Tuhan adalah without end, limitless, without any limit, tapi bersatu, kataku, tidak bisa
dipecah-pecahkan saudara, bersatu.
Maka oleh karena itu saudara-saudara. Tuhan itu
saudara-saudara, juga memberi daya kepada segala perbuatan kita. Oleh karena Dia
is everywhere, anywhere, and everywhere,
dimana-mana. Mungkin saya punya ketauhidan itu, lain dari pada orang lain. Tapi
baiklah saya buka saya punya hati sekarang ini kepada seluruh umat Islam di
Indonesia ini. Demikianlah ketauhidanku. Benar apa tidak. Wallahu a’lam, benar apa tidak, saya serahkan kepada Allah SWT.
Tuhan seru sekalian alam. Allah Yang Esa. Yang Satu”. (Kumpulan Tulisan Terpilih Bung Karno, Api
Perjuangan Rakyat [Pengantar: Megawati Soekarnoputri], LKEP & Kekal
Indonesia, 2001).
Tulisan diatas menunjukkan beberapa hal. Pertama, Soekarno percaya Ketunggalan
Tuhan. Dalam pandangan Soekarno, Tuhan Satu, tidak terbagi, tidak tersusun. “Katakanlah:
Dialah Allah, Yang Maha Esa” (QS 112 [Al Ikhlas]:1) Kedua,
Soekarno percaya bahwa Tuhan tidak hanya menempati satu tempat tertentu,
misalnya di langit ke tujuh, namun Tuhan ada di mana-mana dan meliputi seluruh
keberadaan semesta yang lain ... “...Ingatlah,
bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS 41 [Fushshilat]:54) “Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNYA) lagi Maha Mengetahui.” (QS
2 [Al-Baqarah]:115). Ketiga, Soekarno
percaya bahwa Tuhan Mahaaktif berperan dalam setiap kejadian dan peristiwa
dimanapun, tidak hanya duduk-duduk di langit ketujuh. “Setiap waktu Dia berada
dalam kesibukan.” (QS 55 [Ar-Rahman]:29).
Sampai disini, Soekarno menampakkan identitasnya
sebagai seorang Muslim sejati. Soekarno mendekatkan Tuhan dengan pendekatan
teosofi atau sufi. Ini selaras dengan kebhinekatunggal-ika-an dalam Pancasila. Sufi
pada umumnya bisa menerima keberadaan banyak cara menyembah Tuhan Yang Satu
dari agama yang beraneka ragam. Keanekaragaman agama adalah bentuk dari Rahmat
Tuhan Yang Maha Luas. Berikutnya, Soekarno mulai menandaskan kaitan Ketunggalan
Tuhan dengan Pancasila;
“Saya sebutkan, Tuhan Yang Maha Esa nomor satu,
saudara-saudara. Oleh karena itu, bagi saya, tanah air itu amanat Tuhan, amanat
Tuhan kepada kita. Segala isi alam ini adalah amanat Tuhan kepada kita.
Oleh karena itu, saudara-saudara akan mengerti,”
Bung Karno ini berkata bahwa Pancasila itu adalah dasar negara. “Nah, itu bisa
dimengerti, barangkali ini dasarnya, negara diatas dasar Pancasila. Masuk akal.
Tapi kalau Bung Karno berkata, negara bertuhan, negara harus bertuhan,
bagaimana koq bertuhan? ...
Dan telah difirmankan oleh Allah SWT: “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-KU” (QS 51
[Adz Dzariyat]:56). Dus, membuat
manusia agar supaya manusia itu menyembah kepada-NYA .... Membuat negara agar supaya negara itu menyembah kepada-NYA.
Karena itu dengan keyakinan saya berkata berkata,
negara yang menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak bertuhan, akhirna celaka,
lenyap dari muka bumi.
Nah itu lah saudara-saudara, agar supaya
saudara-saudara mengerti, pengertian saya tentang ushuluddin.”
Soekarno menegaskan bahwa tidak hanya manusia
sebagai individu yang harus menyembah kepada Tuhan, namun negara juga harus
menyembah Tuhan. Disini, gagasan dan kepercayaan Soekarno tentang bagaimana
manusia harus menyembah Tuhan mulai menjadi istimewa dan khas. Penjelasan Bung
Karno tentang tauhid, penetapan eksistensi Tuhan, Ketunggalan Tuhan, kemudian
bagaimana sebuah negara harus didirikan berdasarkan ketaatan dan penyembahan
kepada Tuhan terasa amat selaras dengan magnum
opus dai Al Farabi, “Al Madinah Al Fadhilah.” Dalam buku ini, Al Farabi
mengawali pembahasan dengan tauhid dan mengakhirinya dengan menjelaskan tentang
negara utama, dan bagaimana negara utama harus dibangun berdasarkan
ideologi-ideologi yang serba materi.
Terima kasih kepada Bung Karno dan para pendahulu
Bangsa yang telah meletakkan dasar Cinta Kepada Tuhan dalam kehidupan kita bernegara. Pancasila
mengajarkan kepada kita untuk mewujudkan Cinta Kepad Tuhan dalam kebhinekaaan
kehidupan bernegara yang sehat dan penuh pengkhidmatan.
Dikotomi Muslim Non Muslim,
Pilpres, dan Keutuhan Pancasila
Dikotomi Muslim dan Non Muslim yang banyak menyeruak akhir-akhir ini,
menurut hemat kami lebih muncul dari kepentingan politik dari kelompok-kelompok
tertentu, ketimbang ketulusan perkhidmatan kepada Tuhan ataupun sesama.
Manajemen pembiaran pada kampanye hitam yang menggunakan isyu-isyu SARA
merupakan salah satu bentuk kelalaian dalam menjaga keutuhan NKRI dan
Pancasila. Pembiaran ini dirasakan terjadi di level akar rumput. Pemerintah,
KPU, dan aparat yang berwajib seharusnya lebih tegas, tanggap, dan cepat dalam
mengambil tindakan. Masyarakat juga diharapkan tidak mudah terpancing gagasan
utnuk dan atas nama Tuhan yang prematur dan bertentangan dengan Pancasila. Mari
kita teruskan perjuangan Bung Karno mewujudkan NKRI yang berkhidmat kepada
Tuhan dan mengalirkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
[]
*) Penulis adalah Dosen STEI ITB dan tulisan ini dikutip dari buletin At-Tanwir Nomor:321, Edisi: 21 Juli 2014 / 23 Ramadhan 1435H
*) Penulis adalah Dosen STEI ITB dan tulisan ini dikutip dari buletin At-Tanwir Nomor:321, Edisi: 21 Juli 2014 / 23 Ramadhan 1435H