Kamis, 31 Mei 2012
Konsistensi dan Ketegasan sebagai Pengajar
"Guru, digugu dan ditiru", dan "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", adalah dua pepatah terkenal yang berkaitan dengan sosok guru. Guru lebih kental sebagai sosok pendidik untuk pendidikan dasar 12 tahun pertama daripada sebagai pengajar saja. Guru adalah sekaligus pengajar juga pendidik. Sebagai sebuah sentral dalam penanam budi pekerti anak-anak didik di sekolah telah menjadi "mitra kerja" utama para orang tua pemilik anak-anak usia balita hingga remaja muda, tentu patutlah menjadi panutan, penuntun, dan lebih tepat sebagai tokoh Tut Wuri Handayani. Guru yang baik tentunya dapat melahirkan anak didik yang kelak berpengetahuan dasar dan berkarakter, baik dari segi moral harus berbudi luhur dan bermartabat, juga harus konsisten antara pepatahnya dengan gerak perbuatan sehari-hari. Apa jadinya jika dari pepatah kedua tersebut di atas diteruskan menjadi "Guru kencing berlari" ? Ya, bisa jadi muridnya akan terkencing-kencing ...hehehehe.
Di dalam tulisan atau lebih tepat sebagai catatan pribadi saya yang singkat ini, kiranya kurang kompeten jika saya terus mengupas tentang tokoh guru. Namun, bagaimanapun ada hubungannya antara guru dengan saya sebagai salah satu pengajar perguruan tinggi. Itulah kira-kira isi tulisan ini.
Begini. Guru jelas adalah sebagai pendidik sekaligus pengajar. Sementara, Dosen, profesi tenaga pengajar di jenjang perguruan tinggi apakah juga wajib sebagai pendidik? Menurut saya mestinya iya. Meskipun, kenyataan banyak yang mengabaikan hal ini. Dosen ya sebagai pengajar saja, pekerjaannya adalah mengajar (dan juga meng[h]ajar mahasiswa—peny.) karena tugas utama pendidik adalah orang tua dan guru. Akan tetapi, kan alangkah baiknya, jika dosen itu menjadi pengajar dan juga menjadi pendidik, meskipun intensitasnya berbeda dari cara guru dalam mendidik. Jelaslah bahwa yang dihadapi dosen adalah anak-anak dewasa muda yang dianggap sudah bisa mandiri dalam menghadapi kehidupannya. Treat-nya tentu berbeda dengan guru. Di sini dosen bisa menempatkan diri sedemikian bahwa mahasiswa itu adalah mitra kerja dosen. Hal ini sangat sejalan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini, yakni menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Berdasarkan hal itu, saya berpendapat bahwa masa jenjang pendidikan dasar adalah masa penanaman pasport hidup lebih kepada penanaman nilai-nilai dasar moral dan kehidupan dan skill dasar. Pada jenjang menengah (SMP dan SMA) yang menjadi peralihan hidup dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, mulai diarahkan pada hal-hal pembekalan hidup. Lalu pada pendidikan tinggi musti ditanamkan bagaimana pendidikan itu harus dilakukan sepanjang hayat menjadi manusia yang dewasa, mandiri, bertanggung jawab, bersosial, dan berbudaya.
Menurut saya, salah kunci utama dalam mendidik mahasiswa adalah konsistensi dan ketegasan. Biasanya ‘bla bla bla’ menanamkan ‘isme’ pengajar atau dosen itu terutama di awal-awal kuliah atau yang dikenal dengan aturan main kuliah atau kesepakatan belajar-mengajar antara mahasiswa dengan dosennya. Apa yang sudah ditetapkan di awal kuliah mestinya dijalankan secara konsisten oleh kedua belah pihak tersebut. Sebagai contohnya: Kehadiran tidak diperhitungkan dalam penilaian. Akan tetapi, jika kehadiran mencapai 90% ke atas, maka mahasiswa akan mendapat reward perbatasan nilai, yakni dari E ke D, D ke C dan seterusnya. Disini, dosen dituntut konsistensinya atas janji yang pernah dilontarkan.
Pernahkan kita sering mendengar ada ‘dosen killer’? Saya punya definisi sendiri atas istilah itu. Dosen killer adalah dosen yang salah satu tingkahnya adalah melakukan penilaian atas mahasiswa tidak berhubungan dengan akademik sama sekali alias tidak obyektif. Sebagai ilustrasi, misalnya ada seorang dosen yang ‘sakit hati’ lantaran suatu ketika saat berjalan di depan mahasiswanya terjatuh dan menanggung ‘malu’ sampai-sampai mahasiswanya tertawa atas kejadian itu. Di akhir kuliah dosen tersebut mengeluarkan nilai jelek atas mahasiswa yang menertawainya dan tidak ada sangkut pautnya dengan prestasi di kelas/ujiannya. Itulah yang saya sebut sebagai dosen killer, dan bukannya dosen yang ‘jutek’ -- memang dari sananya begitu--, tapi malah tegas, konsisten, serta profesional di dalam menetapkan penilaian. Dalam hal ini saya sering melontarkan ilustrasi ini kepada para mahasiswa saya di manapun ketika di kelas bahwa dosen killer itu seperti yang saya uraikan di atas.
Saya dapat rumor dari rekan kerja saya bahwa saya termasuk salah satu dosen yang sulit berkompromi dengan masalah nilai yang sudah dipublikasi. Salah satu pernyataan yang sering saya publikasi, baik di kelas maupun di luar kelas adalah bahwa saya tidak akan segan-segan memberi nilai E (tidak lulus) pada mahasiswa yang kedapatan berbuat curang secara akademis. Tidak peduli mahasiswa itu ber-IPK tinggi sekalipun. Tentu saja dalam menetapkan nilai tersebut musti didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan atas tindakan itu. Jika itu terjadi bahwa nilai saya atas mahasiswa tersebut digugat atau di-otak-atik oleh pihak manajemen, maka saya bilang “saya atau dia (mahasiswa) yang keluar dari intitusi pendidikan ini!” Mahasiswa yang dapat nilai E karena memang kemampuannya ataupun karena malas saja, itu masih bisa dinegokan alias bisa diubah. Tentu saja melalui proses seperti remedial. Cuma bagi mahasiwa yang malas, treatment saya mengikuti rasa keadilan. Mengapa tidak, ada mahasiswa yang rajin tapi kemampuan pas-pasan dan biasanya menghasilnya nilai D atau C kalau beruntung hasil belajar penuh selama satu semester harus menyaksikan seorang mahasiswa malas yang nilainya jadi D dari E bahkan ada yang bisa C dengan hanya remedial. Tentu ini bisa mengusik rasa keadilan. Supaya adil bagaimana? Yang sudah, saya lakukan adalah sebelum remedial, mahasiswa diwajibkan mengerjakan tugas/PR yang kalau dihitung meskinya dikerjakan selama 1 minggu, tetapi harus dikerjakan selama 1 hari untuk syarat ikut remedial. Nah, lho bisa jadi mahasiswa tersebut akan begadang semalaman. Puas kan? Saya punya empat kategori mahasiswa dari segi nilai akhir. A adalah nilai bagi mahasiswa yang expert alias pintar dan menguasai bahan. B adalah kategori mahasiswa yang rajin belajar. C atau D tergolong mahasiswa ‘anak mami’. Istilah saya untuk yang malas mikir(=mami). Terakhir E bagi golongan ‘Gayus’ alias pecundang dan kriminal atau golongan koruptor.
Saya berusaha untuk konsisten dan tegas dalam bekerja sebagai pengajar. Yang paling saya takutkan adalah saya melanggar sendiri atas kesepakatan yang saya buat pada mahasiswa. Apapun, jika itu atas kesalahan saya, saya tidak segan-segan untuk mengakui kekhilafan itu. Dalam hal ini saya memang bercita-cita jadi orang awam yang baik sebagai manusia yang berkehidupan dan berbangsa. Tidak terpikirkan untuk memain-mainkan nilai di luar profesi saya sebagai pengajar. Saya katakan, jika ada dosen yang bisa dibeli nilainya oleh materi ataupun uang semisalnya oleh mahasiswanya, maka dosen itu telah melakukan pelacuran, pelacuran akademik. Bahkan ia telah melakukan pelacuran moral karena telah menggadaikan kehormatannya demi tujuan yang rendah seperti itu. Kecuali, memang mahasiswanya ‘menyogok’ dengan membantu dosen tersebut dalam bidang yang masih berkaitan dengan mata kuliah yang diambilnya. Itu lain.
Di luar sana, banyak orang yang berhasil dalam kehidupannya sebagai pejuang kemanusiaan atau sebagai pahlawan. Saya? Ya sudahlah, biarlah saya akan terus berjuang sebagai salah satu sosok penjaga moral saja yang harus meloloskan mahasiswa yang berkualitas baik dari segi skill, kompetensi, maupun integritas moralnya dan menjegal calon-calon koruptor ataupun penjahat.
Langganan:
Postingan (Atom)